JAKARTA, Wartabrita.com — Pemerintah Indonesia menargetkan pencapaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sudah 23 persen di tahun 2025. Meski demikian, target tersebut saat ini terlihat masih jauh dari target.
Bauran energi terbarukan terhitung pada 2021 tidak pernah mencapai target tahunan. Pada tahun tersebut bauran energi terbarukan hanya terealisasi 12,2 persen dari target 14,5 persen.
Setahun setelahnya atau pada pada 2022, target bauran energi terbarukan juga tidak mencapai target. Target bauran energi terbarukan 15,7 persen hanya mampu dicapai 14,11 persen.
Meski terlihat terus meningkat, namun dengan kondisi ini tentunya pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mencapai target semakin berat. Sulit berkembangnya bauran energi terbarukan disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya perizinan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan bahwa terhambatnya pertumbuhan EBT di Indonesia juga karena keterlambatan lelang PLN, akuisisi lahan, proses negosiasi Power Purchase Agreement (PPA) yang berkepanjangan dan juga pandemi.
Pasokan energi pembangkit listrik di Indonesia terbesar masih disokong oleh PLTU batubara. Menilik data lima tahun ke belakang (2018-2022) pasokan energi batubara selalu berada di atas 60 persen dan terus meningkat.
Bahkan bauran energi batubara pada 2022 mencapai 67 persen. Sedangkan ditahun yang sama, bauran energi gas sebesar 15,96 persen, EBT (14,11 persen) dan BBM (2,73 persen).
Perkembangan EBT juga terbilang stagnan di angka 1 hingga 2 persen saja. Seandainya tren itu terus berlanjut maka rasanya sulit untuk mencapai bauran energi terbarukan 23 persen di 2025 dan kemungkinan baru mencapai kisaran 16 atau 17 persen.
“Dalam 10 tahun terakhir penambahan pembangkit ET rata-rata 400-500 MW/tahun. Bahkan sepanjang 2020-2021, penambahan pembangkit ET sangat rendah karena adanya pandemi dan keterlambatan lelang proyek pembangkit ET di 2018-2019 lalu,” kata Fabby.
Dia melanjutkan, untuk mencapai bauran energi terbarukan 23 persen di 2025 masih perlu 10-12 GW lagi. Sedangkan, sambung dia, saat ini dari 23 persen baru sekitar 13 hingga 14 persen bauran energi Indonesia.
Teranyar, pemerintah tengah membahas perubahan peraturan menteri (permen) ESDM nomor 26 tahun 2021 tentang PLTS atap. Salah satu poin yang diatur dalam Permen tersebut adalah ekspor listrik ke PLN dari PLTS yang dipasang oleh publik.
Beberapa pakar juga menilai bahwa kebijakan itu akan menurunkan minat publik untuk memasang PLTS atap. Fabby mengatakan, padahal PLTS atap adalah cara tercepat mencapai target 23 persen di 2025.
Dia melanjutkan bahwa sejak awal tahun lalu, PLN membatasi pemasangan PLTS atap hanya sebesar 10 sampai 15 persen dari kapasitas terpasang. Walaupun saat diprotes oleh pelaku usaha, PLN menyatakan tidak ada pembatasan tapi pemasang PLTS atap menyesuaikan kapasitas yang dipasang hanya dipakai sendiri dan tidak diekspor ke jaringan PLN.
“Pada dasarnya, PLN berdalih bahwa dalam kondisi over capacity saat ini, ekspor excess listrik ke jaringan PLN akan membebani PLN,” katanya.
Fabby menyarankan agar pemerintah memerintahkan PLN melakukan lelang pembangkit energi terbarukan tahun ini setara dengan 6 GW dan tahun depan 4 GW guna mencapai target 23 persen. Eksekutif juga disarankan untuk memerintahkan PLN untuk merelaksasi perizinan PLTS atap.
“Wajibkan private power utility untuk meningkatkan bauran energi terbarukan, berdasarkan kapasitas pembangkit mereka sesuai dengan target 23 persen,” katanya.