Membongkar Penyebab Lambatnya Penurunan Stunting di Indonesia

Kegiatan Urun Rembuh Stunting

Jakarta, Wartabrita.com – Stunting adalah ujung dari persoalan rendahnya literasi gizi masyarakat. Kebiasaan konsumsi pangan mengandung gula tinggi, masyarakat minim literasi gizi, sosial ekonomi masyarakat menjadi faktor penentu keberhasilan penurunan prevalensi stunting di Indonesia.

Literasi gizi atau pemahaman dan kesadaran gizi masyarakat mempengaruhi pola asuh dan pola konsumsi keluarga. Keluarga tanpa pemahaman gizi yang baik cenderung tidak memperhatikan asupan gizi anak, sehingga anak terbiasa mengkonsumsi makanan yang mereka suka, seperti makanan dan minuman dengan kandungan gula garam lemak yang tinggi.

Ketua bidang advokasi YAICI, Yuli Supriati menyoroti kampanye penanganan stunting yang selama ini di gaungkan tidak berdasar pada persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Menurutnya, selama ini narasi mengatasi stunting adalah dengan ASI ekslusif.

“Ibu itu bukannya tidak mau memberikan ASI ekslusif untuk anaknya, tapi karena tidak mampu, karena bekerja, karena kondisi kesehatan dan ibu meninggal. Anak-anak yang tidak mendapat ASI ekslusif ini larinya ke kental manis,” kata Yuli dalam urun rembuk yang dilakukan YAICI bersama PP Aisyiyah, PP Muslimat NU dan para mitra, Minggu (17/12) di Jakarta.

Hasil penelitian Universitas Muhammadyah mengenai kebiasaan konsumsi kental manis oleh balita, sebanyak 11,4 persen balita di Banten, 8,4 persen di DKI Jakarta dan 5,3 persen di DI Yogyakarta mengonsumsi kental manis.
Tidak hanya itu, 78,3 persen responden di Banten, 88,1 persen di DKI dan 95,2 persen di DI Yogyakarta memberikan kental manis kepada balitanya lebih dari satu sachet perhari. Adapun faktor utama pemberian kental manis pada anak ini disebabkan oleh persepsi masyarakat di tiga wilayah ini yang masih menganggap kental manis adalah susu.

“Mengapa studi ini menjadi penting, pola makan yang terbentuk sejak balita akan terbawa terus hingga dewasa, sehingga kebiasaan memberikan kental manis untuk anak dan balita ini harus dicegah sedini mungkin supaya tidak berlanjut.

Penelitian sebelumnya juga menunjukkan balita secara alamiah sangat suka makanan manis, terlebih lagi ketika ada paparan gula tambahan di dalam makanan. Sebabnya, pemerintah bersama swasta, akademisi, organisasi masyarakat dan media perlu satu suara mengatasi hal tersebut agar menekan laju stunting di Indonesia.

Perwakilan dari Repdem, Roesmarni Rusli mempertanyakan mekanisme pengawasan peredaran produk dengan kandungan gula yang tinggi di masyarakat. Dia mengatakan, berdasarkan PerBPOM NO 31 th 2018, produk kental manis tidak boleh menyertakan kata susu pada labelnya. Seharusnya di tulis krimer kental manis.

“Sekarang, kalau kita lihat, pada kemasan kental manis kembali lagi mencantumkan susu kental manis, ini apakah BPOM kembali merubah peraturannya atau memang tidak ada pengawasan terhadap ini?” tanya Roesmarni.

Penata kependudukan dan KB ahli madya, Dr Maria Gayatri mengakui bahwa persoalan kental manis seharusnya mendapat perhatian lebih. Dia mengungkapkan, BKKBN saat ini sedang melakukan audit kasus stunting untuk mengetahui faktor-faktor resiko penyebab gangguan pertumbuhan tersebut.

Dokter anak RS Mayapada Kurniawan Satria Denta mengatakan, salah satu kunci mencegah stunting adalah kualitas protein yang diberikan untuk anak. Dia menjelaskan, protein yang paling baik adalah protein hewani, telur, ikan hingga susu. Selain itu, dia juga menyoroti masifnya informasi yang beredar di masyarakat juga memicu pola makan yang salah pada anak.

“Di tiktok saya lihat, ada ibu-ibu memberikan kental manis untuk anak yang belum 1 bulan. Saat ibu-ibu lain melihat dan mereka tidak dibekali edukasi gizi yang cukup, bisa saja dia meniru perilaku ini. Ini menurut saya juga harus di atasi,” tegasnya.

Hasil dari urun rembuk bersama para mitra tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintaha dan seluruh stakeholder terkait untuk bersama-sama bergerak mengatasi stunting.

Related posts