Jakarta, Wartabrita.com — Guru Besar Teknik Elektro Universitas Udayana Bali, Ida Ayu Dwi Giriantari menilai bahwa Revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM 26 tahun 2021 tentang PLTS Atap akan mempersulit masyarakat dan industri beralih ke energi terbarukan.
Terlebih mengenai sistem kuota yang disematkan dalam permen tersebut. “Tentu (poin-poin dalam permen) pasti akan mempersulit,” kata Ida Ayu Dwi Giriantari di Jakarta, Jumat (21/7).
Profesor dalam bidang electrical engineering ini melanjutkan, revisi Permen akan menjadi hal yang kontraproduktif bagi pemerintah untuk mencapai target energi bersih. Pemerintah membidik 23 persen bauran energi terbarukan di 2025. PLTS Atap menjadi salah satu cara cepat untuk meraih target itu.
Permen tersebut memang tidak akan membatasi kapasitas terpasang PLTS atap yang boleh dilakukan rumah tangga maupun industri, namun akan diterapkan sistem kuota. Ida mendesak pemerintah untuk terbuka dalam penerapan kuota dimaksud.
Dia mengatakan, penyusunan kuota juga harus dilakukan secara transparan agar masyarakat dan industri mengetahui betul kuota yang tersedia. Skema itu juga harus menjelaskan secara terbuka kapasitas kuota di suatu tempat.
Dia mencontohkan, misal sistem kuota diatur per provinsi berdasarkan kapasitas atau kemampuan sistem di daerah masing-masing. Dia melanjutkan bahwa kemampuan Denpasar misalnya, dan daerah lain tentu berbeda-beda.
“Apakah kuota per provinsi, misal Bali sekian nah itu dari mana mereka dapat kuota itu. Harusnya ini terbuka dan ini yang belum ada kejelasan dari otoritas,” katanya.
Ida mengatakan, keterbukaan tersebut juga bermanfaat bagi masyarakat dan industri agar tidak kerepotan nantinya. Jangan sampai, sambung dia, masyarakat dan industri yang ingin memasang PLTS atap justru dibuat repot karena ketidakterbukaan informasi tersebut.
“Jadi masyarakat kan sebelum masang juga pengen tahu informasi bahwa di tempat dia berapa dan itu boleh gak? Jangan nanti urusannya ribet dan malah tidak jelas. Itu yang harusnya di update terus karena kuota itukan pasti berubah terus setiap saat,” katanya.
Disaat yang bersamaan, Ida juga mengkritik terkait pengajuan izin PLTS atap yang hanya bisa dilakukan pada Januari dan Juli setiap tahun. Menurutnya, hal itu tentu akan mempermudah PLN dalam memperbarui kapasitas PLTS terpasang.
Namun, sambung dia, hal itu justru akan mempersulit masyarakat dan industri yang ingin memasang PLTS atap. Belum lagi ketidakpastian izin yang selama ini dikeluhkan oleh industri.
Ida mengatakan, pembatasan waktu pemasang itu akan mempersulit publik untuk menjadwalkan kemampuan mereka dalam beralih ke energi bersih. Pada akhirnya, semangat masyarakat dan industri untuk beralih ke energi bersih justru malah akan mengendur.
“Artinya (revisi permen) ini akan berlawanan dengan misi pemerintah dalam percepatan untuk mencapai target (bauran EBT). Permen tidak mendukung percepatan itu,” katanya.
Sebelumnya, kementerian ESDM beralasan bahwa sistem kuota ditetapkan akan disesuaikan dengan kemampuan sistem transmisi PLN menampung listrik dari EBT yang bersifat intermiten (tidak menentu). Aturan tersebut membuat para pengguna PLTS atap tidak lagi bisa mengekspor listrik ke PLN kapasitas yang terpasang harus sesuai dengan kebutuhan dan sistem kuota.
“Mereka bisa pasang tanpa ada pembatasan kapasitas, selama itu mereka tidak ada yang diekspor dan selama kuotanya masih sesuai,” kata Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna.
Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menilai usulan revisi permen ESDM ini berpotensi mengurangi minat pasar residensial dan industri. Peniadaan ekspor akan menurunkan pengurangan tagihan listrik dan memperpanjang masa balik modal (payback period) pembelian sistem PLTS Atap.
Meski begitu, AESI berharap aturan ini menjamin hak konsumen menggunakan energi terbarukan, khususnya PLTS Atap. Aturan diharapkan menciptakan keseimbangan dengan kepentingan pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTLS) khususnya PLN.
Ketua Umum AESI, Fabby Tumiwa mengatakan bahwa pemegang IUPTLS tidak boleh menghalang-halangi konsumen. Dia meminta pemerintah menginstruksikan PLN untuk melakukan relaksasi pengajuan perizinan PLTS Atap.