JAKARTA, wartabrita.com- Jangan-jangan, para penyusun Keputusan Presiden No. 02 tahun 2022 belum mengerti, bahwa dua bulan sebelum Serangan Oemoem 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, ada ratusan yang bisa tercatat namanya hanya 202 korban penduduk Dusun Kemusuk dan sekitarnya yang gugur dibantai oleh para tentara Belanda pada 7 dan 8 Januari 1949.
Ratusan korban yang gugur sebagai kusuma bangsa itu hingga kini terbaring abadi di Makam Somenggalan, Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul. Ratusan korban yang menjadi perisai bagi Letnan Kolonel Soeharto itulah yang melatari penyelenggaraan seminar nasional bertajuk “Kemusuk Bersimbah dan Letnan Kolonel Soeharto” yang diadakan oleh Museum Purna Bhakti Pertiwi bersama Yayasan Kajian Citra Bangsa pada Kamis pagi, 16 Maret 2023 di Ruang Utama Museum Purna Bhakti Pertiwi.
Seminar yang mengangkat tema “Kemusuk Bersimbah dan Letnan Kolonel Soeharto” ini dihadiri berbagai pakar, antara lain Jenderal (Purn.) Tyasno Sudarto, Dr. Sumardiansyah Halim Perdana Kusumah (Ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia), Noor Johan Nuh (Penulis buku-buku tentang Pak Harto), dan akan dimoderatori Diana Trisnawati M. Hum.
Acara ini juga diikuti oleh para pelajar, mahasiswa, para tokoh lokal maupun nasional, guru sejarah, sivitas akademika, serta berbagai elemen masyarakat luas.
Berbagai rangkaian acara ini memang dimaksudkan untuk merawat ingatan seluruh Bangsa Indonesia atas kekejaman genosida yang telah dilakukan oleh tentara Belanda dalam Agresi Militer Belanda II di Indonesia saat itu. Sebagaimana diceritakan almarhum Probo Sutejo dalam buku Biografi Novelistiknya yang berjudul “Saya dan Mas Harto”, pada sekitar awal Januari 1949, setiap hari, pasukan Belanda menginterogasi semua orang di Kemusuk.
Ketua Yayasan Kajian Citra Bangsa Mayjend. (Purn.) Lukman R. Boe mengatakan, mereka mencari tahu di mana Letkol. Soeharto yang telah memimpin serangan malam hari terhadap pasukan Belanda di sekitar Kantor Pos Besar, Secodiningratan, Ngabean, Patuk, Sentul, dan Pengok, pada 29 Desember 1948.
“Serangan Letkol Soeharto tersebut cukup memakan banyak korban jiwa dan bangunan di pihak Belanda. Padahal, sebelumnya, pasukan Belanda telah merasa menang ketika menangkap Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa Menteri. Serangan tersebut telah menyulut kemarahan seluruh tentara Belanda,” kata Lukman.
Alih-alih mendapat informasi, ternyata, berbagai interogasi para tentara Belanda tersebut hanya menghasilkan nihil.
Sehingga akhirnya, dengan sangat kalap dan membabibuta, para tentara Belanda menembaki semua kaum pria yang terlihat di Desa Kemusuk maupun desa-desa di sekitarnya.
“Tiap kali selesai menembak pria, jasadnya langsung dilempar ke dalam api yang berkobar-kobar. Termasuk di antaranya yang menjadi korban adalah Atmo Pawiro (ayahanda Probosutejo), serta lebih dari 200 korban lain—3 di antaranya adalah bayi dan balita),” tambah Lukman.
Mereka membakar semua rumah dan tempat penyimpanan jerami. Saat itu, Kemusuk yang damai telah berubah menjadi neraka mengerikan yang dipenuhi letusan senjata.
Desa Kemusuk seketika berubah menjadi ladang pembantaian (Killing Field). Genosida ini bisa dikategorikan dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang cukup berat.
Peristiwa mengerikan ini menjadi catatan sejarah kelam bagi Bangsa Indonesia dan perlu selalu diseminarkan setiap tahun bersama berbagai pakar sejarah, guru sejarah, para pelajar dan mahasiswa, serta seluruh elemen Bangsa Indonesia.
Harapannya, dengan mengenang peristiwa Pembantaian ini sebelum adanya Serangan Umum 1 Maret 1949, bisa menggugah kepedulian dan dapat menjadi ruh bagi generasi penerus bangsa agar memiliki sikap patriotisme dan nasionalisme dalam mengisi cita-cita Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945.
Sebuah Patriotisme dan pengorbanan yang sangat besar ini bisa menjadi teladan bersama hingga kapan pun.
Sebuah teladan besar dari kisah seorang patriot yang telah melakukan 4 kali serangan malam hari (29 Desember 1948, 9 Januari 1949, 16 Januari 1949, 4 Februari 1949) dan satu serangan siang hari yang membelalakkan mata dunia (1 Maret 1949) oleh seorang putra Kemusuk yang menjadi Komandan Wehrkreise III bernama Letnan Kolonel Soeharto.
“Seorang patriot yang peran besarnya digelapkan dalam Keputusan Presiden No. 02 tahun 2022 lalu. Apakah ini memang sebuah proses penggelapan sejarah?” tutupnya.